Senin, 16 Mei 2011

Sepakbola " Timnas Oh Timnas" (arsip Januari 2011)

Masih terasa kegagalan timnas di Piala AFF, kemenangan 2-1 di GBK tak cukup bagi Firman Utina dkk untuk membawa timnas ke podium nomor satu sepakbola se-Asean.  Timnas kalah agregat 4-2 di mana sebelumnya kalah memalukan melawan Malaysia dengan skor telak 3-0 di Bukit Jalil. Seolah kemenangan beruntun dari fase awal hingga semi final tak berarti banyak, timnas kembali gagal di Piala AFF dan harus puas dengan predikat runner-up.


Pernyataan dan pertanyaan muncul mengenai kegagalan timnas kali ini. Mengapa timnas kembali gagal? Di sini saya tak ingin berbicara teknis, strategi, permainan dan sebagainya. Karena sebenarnya ada beberapa factor lain yg bagi saya lebih bertanggung jawab atas kegagalan timnas kali ini.

-          Politisasi Sepakbola

Timnas berkunjung ke rumah Aburizal Bakrie sesaat setelah menang melawan Filipina di semifinal leg 2. Di sini terlihat seorang Nurdin Halid (ketua PSSI) seperti “membawa” Timnas ke Ical (Aburizal Bakrie) sebagai “produk” keberhasilan PSSI. Pertanyaannya apakah benar keberhasilan Timnas semata-mata karena PSSI (re: Nurdin Halid) ?

Di sini kita melihat ada POLITISASI SEPAKBOLA yg dilakukan para politikus yg mencoba mengamankan posisi mereka lewat keberhasilan Timnas. Nurdin Halid mencoba membersihkan dirinya (yg sebenarnya banyak terkait kasus korupsi) dengan “memamerkan” Timnas ke public.

Sementara itu Ical juga seperti mengklaim keberhasilan Timnas sebagai usaha keras beliau. Memang benar keluarga Bakrie punya banyak sumbangan kepada persepakbolaan Indonesia, tapi mengapa seolah harus dipamerkan seperti itu. Saya juga melihat kasus ini sebagai persiapan Ical di pemilu 2014 lewat politik pencitraan.
Belum lagi saat timnas diundang makan oleh menpora Andi Mallarangeng, hanya sesaat sebelum timnas harus melawan Malaysia di Bukit Jalil. Lalu kita melihat banyak spanduk di bukit jalil, mulai dari spanduk bergambar Nurdin Halid, Aburizal Bakrie, Hatta Radjasa, bahkan ga ketinggalan presiden SBY. Para politisi busuk mencoba menjadi pahlawan kesiangan di tengah keberhasilan timnas saat itu. Mengklaim bahwa keberhasilan timnas sebagai hasil jeri payah mereka.

-          Ekspos dan euphoria yg berlebihan.

Saya melihat hal aneh di mana media begitu menggembar-gemborkan keberhasilan timnas. Berita timnas yg biasanya hanya ada di Metro Sport (Metro TV) atau Galeri Sepakbola Indonesia (Trans 7), kini bahkan “nyangkut” di produk infotaintment. Sebuah hal yg sangat aneh. Kita bisa melihat berita tentang timnas selama 24 jam nonstop lewat TV. Stasiun tv yg sebelumnya “bodo amat” sama timnas, jadi “ikut-ikutan” demi pemenuhan segmen pasar. Kasus kasus yg lebih mendalam seperti kasus Gayus dan keistimewaan D.I.Y pun tenggelam. Masyarakat dibuat bodoh dan berpikiran dangkal oleh media. Masyarakat jadi terlalu bereuforia dan berekspektasi lebih pada timnas. Tak aneh kalau banyak orang hanya “ikut-ikutan” dukung timnas, padahal sebelumnya cuek sama timnas. Kenapa media dan masyarakat sangat berlebihan? Padahal masuk final Piala AFF adalah wajar bagi Timnas. Tahun 2000, 2002, dan 2004 kita masuk final walau gagal.

2 faktor di atas sangat mempengaruhi performa timnas di bukit jalil. Kita melihat timnas kehilangan konsentrasi, bukan karna laser, tapi karna factor factor di atas. Saya ingat bagaimana seorang presenter “TV WAN” dalam sebuah sesi wawancara bertanya kepada Wolfgang Pical (asisten pelatih timnas) sebelum laga melawan Filipina di semifinal leg 1. “Kira kira kali ini menang berapa kosong?” begitu kata si presenter. Sangat takabur, terlalu percaya diri, dan tentu memberi beban bagi timnas.
Mencerminkan kesombongan dan harapan yg sangat tinggi yg beredar di masyarakat. Achmad Bustomi mencerminkan kekecewaannya lewat akun twitternya.  “Sebuah tamparan dr Alloh untuk kta semua bahwa kta blm juara blm apa2 tp sdah byk yg takaburrr…….!!!”, kata gelandang Arema itu.

Saya melihat pencapaian Timnas kali ini adalah buah dari hasil kerja keras Timnas itu sendiri, bukan PSSI, bukan Aburizal Bakrie, bukan SBY. Bahkan kita melihat bagaimana kegigihan timnas saat menang 2-1 di final kemarin, timnas seperti ingin mempertahankan harga diri walau gagal juara. Salut untuk kegigihan Alfred Riedl dan para anak buahnya. PSSI butuh perombakan besar. Harga tiket yg selangit menunjukkan kebobrokan PSSI. Bandingkan harga tiket VVIP di Bukit Jalil Malaysia, yg setara dengan Rp. 150.000. Di GBK? Rp. 1.000.000 !!! Belum lagi masalah mendasar PSSI yg lain, seperti liga yg carut marut, manajemen klub yg amburadul, dll. Timnas sudah bagus, ada perkembangan. Tapi PSSI masih sangat bobrok.

Semoga di tahun yg baru ini ada kemajuan tersendiri di persepakbolaan Indonesia, karena percuma juga kalau Timnas punya pemain sehebat Alessandro Del Piero tapi PSSI nya masih bobrok. Terima kasih banyak, God Bless Indonesia!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar